Awal yang tak terduga
Aku ingat hari pertama aku datang ke balai desa untuk melihat program belajar komunitas itu—asalnya cuma iseng, karena teman ngajak sekadar melihat. Yang kutemukan malah jauh dari dinginnya seminar formal yang biasa kulihat: kursi plastik disusun berantakan, kain batik dipakai sebagai papan tulis darurat, dan sekitar lima puluh wajah yang lebih ingin ngobrol daripada mencatat. Ada suara gelas teh yang beradu, bau minyak wangi dari ibu-ibu yang baru pulang pasar, dan gelak tawa ketika seorang bapak salah menyebut angka.
Di situ aku mulai paham: komunitas mengajar bukan soal podium megah atau slide PowerPoint. Ini soal ruang kecil yang penuh kehidupan—tempat orang-orang belajar dengan cara manusiawi, dengan rasa malu ketika salah dan tepuk tangan ketika berhasil. Rasanya seperti nonton drama kecil yang setiap episodenya memberi kejutan.
Siapa sebenarnya guru itu?
Kalian mungkin bayangkan guru di sini adalah sarjana, berjas rapi, membawa tas kulit. Nyatanya, guru-gurunya bisa siapa saja: pemuda tukang reparasi sepeda yang ngajarin anak-anak baca teknik sederhana; nenek penjahit yang membuka kelas menjahit sambil bercerita tentang resep rahasia; kepala pos yang mengajari penggunaan telepon pintar supaya warga bisa mengakses layanan kesehatan online. Mereka mengajar karena ingin membantu, bukan karena titel.
Yang lucu, salah satu “guru” kami adalah seorang bapak penjual tahu yang setiap kali mengajar berhenti untuk membagikan potongan tahu gratis. Kelas jadi semacam perpaduan antara workshop dan pasar malam. Reaksi peserta pun campur aduk: serius, bingung, lalu ramai tertawa ketika bapak itu mengoreksi penulisan huruf “e” sambil menepuk punggung anak yang salah menjawab. Ada kehangatan yang aneh, seperti sedang berkumpul di ruang keluarga besar.
Mengapa metode sederhana kadang lebih ampuh?
Dalam banyak sesi, metode yang dipakai sederhana: diskusi lingkar, praktik langsung, dan cerita pengalaman nyata. Aku pernah menyaksikan ibu-ibu yang awalnya takut memegang HP, berubah menjadi pahlawan digital lokal setelah beberapa pertemuan. Mereka tidak hanya belajar klik dan ketik; mereka belajar cara mencari info penyakit anak, mengisi formulir bantuan, bahkan mengirim pesan suara ke dokter. Sederhana tapi berdampak besar.
Tentu, ada tantangannya. Terjadi kesalahpahaman antar generasi, masalah logistik seperti listrik padam, dan kadang hujan yang membatalkan pertemuan. Namun salah satu hal yang paling menyentuh adalah ketika satu kelas berhasil membuat grup WhatsApp lokal—bukan hanya untuk mengatur jadwal, tapi juga saling mengingatkan untuk minum obat, menawarkan tumpangan, atau sekadar menghibur saat salah satu warga sedang sedih. Itu bukan sekadar transfer ilmu; itu penambahan jaringan perasaan.
Di beberapa kesempatan, kita juga bekerja sama dengan organisasi luar yang menyediakan modul atau sumber belajar. Salah satunya yang sempat aku baca referensinya adalah hccsb, yang memberi inspirasi tentang bagaimana memberdayakan komunitas lewat pendekatan yang menghormati kearifan lokal.
Bagaimana kita melanjutkan cerita ini?
Aku percaya keberlanjutan bukan soal seminar dan laporan yang rapi, tapi soal menumbuhkan rasa memiliki. Kelompok kecil ini kini mulai membuat “regenerasi”—mendorong peserta lama untuk menjadi fasilitator bagi tetangga. Mereka belajar menyusun materi sederhana, membagikan tugas ringan, dan bahkan bikin jadwal piket untuk kebersihan balai. Ada rasa bangga yang tak bisa kubayar dengan uang: ketika seorang remaja berkata, “Dulu aku takut ngomong di depan orang, sekarang aku bisa pimpin rapat lingkungan.”
Kalau kamu bertanya apa yang bisa dilakukan untuk mendukung—jangan remehkan hal kecil. Bawa satu termos teh, bantu atur kursi, bawa spidol yang masih bisa dipakai, atau sekadar datang dan dengarkan cerita mereka. Terkadang dukungan terbesar adalah hadir. Komunitas butuh teman, bukan penasehat yang jauh.
Di akhir hari, ketika lampu jalan menyala dan para peserta pulang sambil berbisik tentang materi yang mereka pelajari, aku merasa hangat. Bukan hanya karena kopi panas, tapi karena melihat bahwa perubahan nyata bisa dimulai dari meja makan komunitas, dari guru tanpa gelar formal, dari tawa yang memperkecil jarak. Itu cerita pemberdayaan yang nyata—tidak spektakuler di layar televisi, namun begitu bermakna bagi mereka yang mengalaminya.